BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebuah ilmu
yang membahas tentang sifat-sifat seorang rawi yang dapat menyebabkan kelemahan
atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Atau dengan kata lain ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang
membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil
kepada seorang rawi. Faedah mempelajari ilmu
al-jarh wa at-ta’dil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh
oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits
dipenuhi.
Manfaat dari Ilmu al-jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui mana
hadits yang shahih dan mana hadits yang tidak shahih dilihat dari perawinya.
Banyak jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi, dengan cara mentarjih. Orang yang menta’dilkan dan
mentarjihkan tidak sembarang orang, tetapi harus memiliki syarat-syarat
tertentu. Orang yang menta’dila dan mentarjih bisa menyebutkan sebab-sebab
seorang rawi bisa juga tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Untuk yang tidak
disebutkan sebab-sebabnya disebut dengan subham, masih diperselisihkan oleh
para ulama. Bnayak pendapat para ulama tentang subham. Adapun jumlah orang yang
bisa menta’dil dan mentarjih juga diperselisihkan.
Semua permasalahan
di atas, akan dibahas lebih mendalam
lagi. Dengan adanya makalah ini semoga kita semua bisa lebih faham lagi tentang
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil. Kita bisa
mengetahui siapa saja orang yang bisa menta’dil dan mentarjih, syarat-syarat
orang yang bisa menta’dil dan mentarjih dan kita mengetahui tentang beberapa
pendapat dalam Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Secara
etimologi, al-Jarh adalah bentuk isim masdar, bentuk fiil madhi dan mudhari’nya
yaitu jaraha-yajrahu yang berarti melukai. Apabila terjadi pada tubuh, berarti
melukai yang menyebabkan mengalirnya darah. Sedangkan jika digunakan hakim
pengadilan yang ditujukan kepada saksi, berarti menolak atau menggugurkan
kesaksiannya. Sedangkan menurut terminology ilmu hadits,
al-Jarh ialah upaya mengungkap sifat-sifat tercela dari perawi hadits yang
menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan. Lafadz al-jarh, menurut
Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan
kehafalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang
rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan
kelamahan atau tetolak apa yang diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan adil yaitu orang
yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan
keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi sehingga yang
diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.
Adapun kata
ta’dil, secara etimologi, adalah bentuk masdar, bentuk fiil madhi dan
mudhari’nya yaitu ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil
yang dimiliki seseorang. Sedangkan menurut terminology ilmu hadits,
ta’dil ialah upaya mengungkap sifat-sifat bersih seorang periwayat hadits
sehingga nampak keadilannya yang menyebabkan diterimanya sebuah riwayat yang
disampaikannya.[1]
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan ilmu al-jarh wa at-ta’dil ialah ilmu yang
membahas tentang keadaan periwayat-periwayat hadits, baik mengenai catatannya
ataupun kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafal tertentu sehingga diterima
atau ditolak riwayatnya.
- Perkembangan
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Jika kita lihat penjelasan tentang “urgensi”
sanad dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa al-jarh wa al-ta’dil sudah ada sejak awal kemunculan Islam. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil muncul
bersamaan dengan munculnya periwayatan di dalam Islam. Karena mengetahui
riwayat-riwayat harus lewat perawinya. Pengetahuan itu dapat memungkinkan
seorang ulama untuk menghukumi, apakah mereka itu jujur atau berdusta.
Sehingga, mereka mampu untuk membedakan riwayat yang dapat diterima (maqbul) dari yang tertolak (mardud). Oleh karena itu, mereka mempertanyakan
tentang perawi, melihat dengan cermat seluruh sisi hidup mereka dan membahasnya
secara kritis sampai mereka tahu siapa yang paling baik hafalannya dan yang paling
mujalasah (pergaulan dalam menunut hadits)nya dari yang paling jelek.
Perlu
dijelaskan bahwa jarh wa ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang dilarang, bahkan
para ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama. Lebih dari itu dasar al-jarh wa al-ta’dil sendiri
sudah digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi, diantaranya
dalam surat al-Hujurat ayat 49 dijelaskan bahwa Allah memerintahkan agar kita
tidak mengambil riwayat-riwayat yang datang dari orang fasiq dan tidak tsiqot.
Allah juga mencerca orang-orang munafiq dan kafir dalam berbagai ayat,
sebagaimana juga Allah “bersikap adil” (melakukan ta’dil) terhadap para
shahabat dan memuji mereka di dalam kitab-Nya, seperti dalam QS. Ali Imran ayat
110.
Hadits menjelaskan bolehnya melakukan jarh wa ta’dil
yaitu seperti sabda Rasulullah SAW kepada orang laki-laki; “(dan) itu
seburuk-buruk saudara ditengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhori) .
Oleh karena itu,
para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk menjaga syariat/agama ini, bukan untuk
mencela menusia. Dan sebagaimana dibolehkan jarh dalam persaksian, maka pada
perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam
masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-jarh dan
at-ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in,
dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang
diperingatkan Rasulullah SAW: “aka nada pada umatku yang
terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang
belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka
waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah
Shahih Muslim)
Dari sini,
kemudian berkembanglah konsep al-jarh wa al-ta’dil, khususnya
dalam periwayatan hadits Nabi SAW. Lalu, para shahabat, seperti Abu Bakar,
Umar, Zaid ibn Tsabit, dan yang lainnya bersikap hati-hati dalam menerima
riwayat dari para perawi, seperti yang pernah disinggung pada bagian
sebelumnya.
Seperti pendapat Dr. ‘Ajjal Al-Khathib mentakrifkanya
sebagai berikut:
هُوَ اْلعِلْمُ اَّلَذِي
يَبْحَثُ فِى اَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُىثوْلِ رِوَايَتِهِمْ
أَوْرَدّهاَ
“ Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi
diterima atau di tolak periwayatamya.”
- Syarat-Syarat
Bagi Orang Yang Men-Ta’dilkan dan Men-Tajrihkan
Kita tidak boleh
menerima begitu saja penilaian seorang ulama’ terhadap ulama lainnya, melainkan
harus jelas dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, orang yang
menganggap orang lain cacat, mala ia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita
tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Ada beberapa syarat bagi oranng yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang men-jarh-kan (jarih), yaitu:
1) Berilmu pengetahuan
2) Takwa
3) Wara’ (orang
yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan
makruhat-makruhat)
4) Jujur
5) Menjauhi fanatic
golongan
6)
Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan
men-tajrih-kan.
- Pertentangan
Antara Al-Jarh dan At-Ta’dil
Terkadang,
pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap
orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kan, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya. Dalam masalah ini, para
ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
1) Al-jarh harus
didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adilnya lebih banyak daripada
jarh-nya. Sebab jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil,
dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak
diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama’.
2) Ta’dil didahulukan
daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang
men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut Ajjaj
al Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun
lebih banyak jumlahnya tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang
mentajrih.
3) Bila jarh dan ta’dil bertentangan,
salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang
mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui
mana yang lebih kuat di antara keduanya.
4) Tetap dalam ta’arudh
bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
Melihat perbedaan tersebut, dapat diketahui bahwa
konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi
merupakan konsep dari mayoritas ulama’.
- Lafadz-Lafadz
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan
men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam
An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz
Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya
menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut:
Ø
tingkatan dan lafadz-lafadz
untuk men-ta’dilkan rawi-rawi, yaitu:
1)
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam
keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenis:
اوثق الناس
= orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
اثبت الناس حفظا وعدالة = orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya.
الىه المنتهى في الثبت = orang yang
paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة
= orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu
selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت
= orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقة ثقة
= orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
حجة حجة
= orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة
= orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat
hafalannya.
حافظ حجة
= orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن
= orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti
‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت
= orang yang teguh (hati-hati lildahnya).
متقن
= orang yang meyakinkan ilmunya.
ثقة
= orang yang tsiqah.
حافظ
= orang yang hafidz (kuat hafalannya).
حجة
= orang yang petah lidahnya.
4)
Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz
yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
صدوق
= orang yang sangat jujur
ماء مون
= orang yang dapat memegang amanat
لا باء س به
= orang yang tidak cacat
5)
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui
ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق
= orang yang berstatus jujur
جيد الحديث
= orang yang baik haditsnya
حس الحديث
= orang yang bagus haditsnya
مقارب الحديث
= orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah
6)
Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat
tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut
di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu
pengharapan, misalnya:
صدوق ان شاءالله
= orang yang jujur, insya Allah
فلان ارجو بان لا باء س به =
orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلج
= orang yang sedikit keshalihannya
فلان مقبول حديثة
= oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para
ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai
hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan
kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila
dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
Ø
Kemudian, tingkatan dan
lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;
1)
Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس
= orang yang paling dusta
اكذب الناس
= orang yang paling bohong
اليه المنتهى في الوضع = orang yang paling menonjol
kebohongannya
2)
Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz
berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
كذاب
= orang yang
pembohong
وضاع
= orang yang
pendusta
دجال
= orang yang
penipu
3)
Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
فلان متهم بالكذب
= orang yang dituduh bohong
او متهم بالوضع
= orang yang dituduh dusta
فلان فيه النظر
= orang yang perlu diteliti
فلان ساقط
= orang yang gugur
فلان ذاهب الحديث
= orang yang haditsnya telah hilang
فلان متروك الحديث
= orang yang ditinggalkan haditsnya
4)
Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث
= orang yang dilempar haditsnya
فلان ضعيف
= orang yang lemah
فلان مردود الحديث
= orang yang ditolak haditsnya
5)
Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai
hafalannya, misalnya:
فلان لايحتج به
= orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان مجهول
= orang yang tidak dikenal haditsnya
فلان منكر الحديث
= orang yang mungkar haditsnya
فلان مضطرب الحديث
=orang yang kacau haditsnya
فلان واه
= orang yang banyak duga-duga
6)
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya,
tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
ضعف حديثه
= orang yang di-dha’if-kan haditsnnya
فلان مقال فيه
= orang yang
diperbincangkan
فلان فيه خلف
= orang yang disingkiri
فلان لين
= orang
yang lunak
فلان ليس بالحجة
= orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
فلان ليس بالقوي
=orang yang tidak kuat
Orang
yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya
tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan
menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai
i’tibar (tempat pembanding).[2]
- Manfaat
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seoranng
rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
dinilai oleh para ahli sebagai seoranng rawi yang cacat, periwayatannya harus
ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang adil, niscaya
periwatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits
terpenuhi.
Jika kita
tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan
antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadits yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa
menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari segi
kualitas rawi, bukan dari matannya. Adapun keaiban seorang rawi pada umumnya
yaitu:
- Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar
ketentuan syari’at),
- Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang
lebih tsiqah),
- Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
- Jahalatu’l-Hal (tidak di kenal identitasnya) .
- Da’wa’l-inqhitha’ (di duga keras sanadnya tidak
bersambung).
- Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan
Rawi serta Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah
satu dari dua ketetapan berikut ini:
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia
dikenal sebagai seorang yang adil (bisy-syuhroh).
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil
(tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang
semula rawi yang dita’dilkan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah
dapat dilakukan oleh:
- Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu
tidak menjadi syarat untuk penerimaan hadits.
- Setiap orang yang dapat diterima periwatannya,
baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka ataupun budak, selama
ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat
diketahui melalui dua cara, yaitu:
- Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam
keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik
atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan.
Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
- Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang
yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan
yang dipegang muhaditsin,sedangkan menurut para fuqoha,
sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
Ada beberapa
masalah yang berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan
seorang rawi, diantaranya secara mubham (tak disebutkan
sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufasar (disebutkan
sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama’ dalam beberapa
pendapat, yaitu:
- Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat
diterima, karena sebab itu banyak sekali , sehingga kalau disebutkan
semuanya tentu akan menyibukkan saja adapun mentajrihkan tidak diterima,
katau tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh dapat berhasil dengan
satu sebab saja . Dan karena orang-orang itu berlainan dalam mengemukakan
sebab jarh, sehingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut
keyakinannnya , tetapi tidak dalam kenyataan nya . Jadi agar jelas apakah
ia tercacat atau tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya.[3]
- Untuk ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya,
tetapi menjarh-kan tidak perlu . Karena sebb-sebab menta’dilkan itu, bisa
dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang men-tajrih-kan tidak bisa dibuat-buat.
- Untuk kedua-duanya, harus disebut sebab-sebabnya.
- Untuk kedua-duanya, tidak perlu
disebutkan sebab-sebabnya, sebab siJarh dan Me,addil sudah
mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Diantara sebab munculnya
kreteria Mumham dan musafar karena
terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap para rawi .
Masalah
berikutnya adalah perselisian dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang
dipandang cukup untuk dan menta’dilkan dan mentajrihkan rawi
sebagaimana berikut:
- Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun
dalam soal riwayat. Demikian pendapat kebanyaakan fuqoha
Madinah.
- Cukup seorang saja dalam soal riwayat bukan dalm
soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam
penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan men-tajrih-kan rawi.
Berlainan dalam soal syahadah.
- Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun
dalam soalsyahadah.
Adapun kalau
ke-adilan-nya itu diperolah atas dasar pujian orang banyak atau
dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang menta,dilkan(muzakky=mua’dil).
Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal , Al-Laits, Ibnu Mubarak,
Sya’aibah, Ishak, dan lain-lain.
G. Buku
Referensi Al-Jarh Wa at-Ta’dil
Para ulama ahli kritik hadits dalam
usahanya untuk mengetahui kualitas pribadi maupun kapasitas intelektual para
perowi hadits, yang telah dirintis sejak zaman shahabat sampai perkembangannya
pda masa tabi’in telah dibukukan bersaman dengan upaya pembukuan ilmu-ulmu
keislaman yang lain, sehingga menghasilkan beberpa kitab yang menjadi referensi
bagi karya-karya yang muncul kemudian.
Kitab-kitab jarh wa ta’dil yang disusun para ulama
beragam cakupan isinya, ada yang sederhana dan ada yang memiliki cakupan luas.
Kitab yang paling sederhana hanya terdiri atas satu jilid dan hanya menerangkan
beberapa ratus periwayat hadits. Sedangkan kitab yang cakupannya luas terdiri
atas beberapa jilid dan memuat ribuan periwayat hadits. Demikian pula mengenai
metode penyusunannya; ada yang menerangkan keadaan periwayat secara umum, baik
yang tsiqah maupun yang dhaif, ada yang hanya menerangkan keadaan periwayat
yang tsiqah saja, dan ada pula yang hanya menerangkan keadaan periwayat yang
dhaif dan dusta dengan menyebutkan pula hadits-hadits yang maudhu’.
a. Kitab
jarh wa ta’dil secara umum.
Kitab-kitab
yang termasuk kategori ini adalah kitab-kitab yang menerangkan keadaan hadits
secara umum, baik yang tsiqah maupun yang dhaif, di antaranya yaitu :
1) At-Tarikh
al-Kabir.
Kitab ini
adalah karya Imam al-Bukhari (194-256 H) yang disusun dalam format kitab yang
besar, memuat 12.305 periwayat hadits. Kitab ini disusun berdasarkan urutan
huruf mu’jam dengan memperhatikan huruf yang pertama dari nama periwayat hadits
dan nama bapaknya. Imam al-Bukhari memulai pembahasannya dengan menyebutkan
nama-nama Muhammad karena mulianya nama Nabi Muhammad. Seperti halnya dia
mendahulukan nama-nama shahabat dalam setiap nama periwayat tanpa memperhatikan
uruyan nama bapaknya.
Selain itu,
Imam al-Bukhari juga mnyebutkan istilah-istilah jarh dan ta’dil. Untuk istilah
jarh beliau memakai istilah yang halus, seperti : fihi nazhrun atau sakatu
‘anhu digunakan untuk menilai perowi yang ditangguhkan haditsnya. Sedangkan
istilah yang lebih keras adalah munkir al-hadist digunakan untuk periwayat yang
tidak boleh diriwayatkan haditsnya. Jika beliau berpaling dari seseorang dan
tidak menilai tsiqah atau dhaifnya, berarti beliau menilai orang tersebut
tsiqah.
2) Kitab
al-Jarh wa Ta’dil.
Kitab ini
adalah karya Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (240-377 H) yang isinya
memuat 18.050 periwayat hadits, terdiri atas 8 jilid beserta mukadimahnya.
Dalam kitab ini biografi periwayat hadits ditulis singkat, hanya mencapai 1
sampai 15 baris dan disusun berdasarkan huruf hijaiyah dengan memperhatikan
huruf pertama nama periwayat hadits dan nama bapaknya. Dimulai dari nama-nama
para shahabat, serta disebutkan pula nama kunyah dan nisbahnya, Negara asal,
tempat tinggal, akidah dan terkadang disebutkan tahun wafatnya.
b. Kitab
jarh wa ta’dil tentang periwayat-periwayat yang tsiqah.
Kitab-kitab
dalam kategori ini hanya membicarakan biografi periwayat hadits yang tsiqah
saja, di antara kitab yang terkenal adalah :
1) Kitab
ats-Tsiqah.
Kitab ini
adalah karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (w. 354 H) yang disusun
berdasarkan thabaqat (tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah. Dalam thabaqah
itu disajikan 3 juz, juz pertama untuk Thabaqat atba’ at-tabi’in. menurut
al-Qattani, dalam kitab Ibnu Hibban banyak menyebutkan periwayat majhul yang hanya
dikenal keadaannya. Dan penilaian tsiqahnya yang hanya tersebut dalam kitab ini
menempati urutan yang paling rendah. Sebab, menurutnya, adil adalah orang yang
tidak diketahui catatannya, karena catatan adalah kebalikan dari adil.
2) Tarikh
Asma ats-Tsiqat min Man Nuqila anhum al-Ilm.
Kitab ini
disusun oleh Umar bin Ahmad bin Syahin (w. 385 H) yang disusun berdasarkan
urutan huruf mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat dan nama bapaknya
serta pendapat ahli jarh wa ta’dil mengenai periwayat itu. Terkadang juga
disebutkan guru dan muridnya
.
3) Ats-Tsiqah
wa al-Mutsabbitun, karya Ali ibn Abdillah al-Madini (w. 234 H).
4) Ats-Tsiqah,
karya Ahmad ibn Abdillah ibn Shalih al-‘Ijli (w. 261 H). Buku ini memuat 2.116
biografi periwayat hadits
.
5) Ats-Tsiqah,
karya Abu al-‘Arab al-Qayruwani Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad at-Tamimi (w. 333
H).[4]
c. Kitab
jarh wa ta’dil tentang periwayat-periwayat yang dhaif.
Kitab-kitab
dalam kategori ini hanya membicarakan biografi periwayat hadits yang dhaif
saja, di antara kitab-kitab itu adalah :
1) ad-Du’afa
al-Kabir dan ad-Du’afa as-Shagir.
Kedua kitab
ini adalah karangan Imam al-Bukhari yang disusun berdasarkan urutan huruf
mu’jam dengan hanya memperhatikan huruf pertma pada setiap nama periwayat.
2) Ad-Du’afa
wa al-Matrukin.
Kitab ini
merupakan karya Imam an-Nasa’i (215-303 H) yang disusun berdasarkan urutan
huruf mu’jam, dengan hanya memperhatikan huruf pertma pada setiap nama
periwayat.
3) Ma’rifat
al-Majruhin min al-Muhadditsin.
Kitab ini
merupakan karya Ibnu Hibban yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam,
diawali dengan mukadimah kitab yang berisi tentang pentingnya mengetahui
periwayat dhaif, kebolehan menilai catatannya dan yang berhubungan dengan hal
tersebut.
4) Al-Kamil
li Du’afa ar-Rijal.
Kitab ini
adalah karya Imam Abu Ahmad Abdullah bin Adi al-Jurjani (w. 356 H). kitab ini
luas cakupannya, tetpi memuat boigrafi periwayat yang masih dibicarakan
kualitasnya, meski menurut pendapat yang ditolak. Kitab ini disusun berdasarkan
urutan huruf mu’jam.
5) Mizan
al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
Kitab ini
adalah karya Abu Abdullah Ahmad bun Utsman az-Zahabi (w. 748 H). kitab ini
menghimpun 11.053 biografi periwayat yang disusun berdasarkan huruf mu’jam
dengan memperhatikan nama periwayat dan bapaknya, serta disebutkan nama kunyah
(panggilan), nisbah atau laqabnya.
6) Lisan
al-Mizan.
Kitab ini
adalah karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang disusun berdasarkan huruf mu’jam yang
dimulai dari nama asli, nam kunyah, kemudian periwayat yang mubham (samar).
Kitab ini terbagi menjadi tiga pasal, pasal pertama tentang periwayat yang
menggunakan nasab, kedua tentang periwayat yang terkenal dengan nama kabilah
atau pekerjaannya, dan ketiga tentang priwayat yang disandarkan kepada nama
lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan materi di atas dapat simpulkan bahwa:
- ilmu al-jarh
wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu
hadits yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits
yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi haditsnya.
- Ilmu al-jarh
wa al-ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan di
dalam Islam yang sudah ada sejak awal kemunculan Islam.
- Jarh wa ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang
dilarang, bahkan para ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama.
Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk
menjaga syariat/agama ini, bukan untuk mencela menusia.
- Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan
seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali serta untuk
menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari
segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
- Ada
beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil)
dan orang yang men-jarh-kan (jarih), yaitu: berilmu pengetahuan,
takwa, wara’, jujur, menjauhi fanatic golongan dan mengetahui sebab-sebab
untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
- Lafadz-lafadz
yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat.
Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu
disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy
menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.
- Para
ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat
sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut
tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat
dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Smeer, Zeid.2008. Ulumul Hadis Pengantar Studi
Hadis Praktis. Malang : UIN-Malang Press.
Solahudin, Agus. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, M. Hasby. 1989. Sejarah Pengantar Ilmu
Hadist. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
0 komentar
Post a Comment