QADHA’
dan QADAR
Kajian
Surat Ali Imran/3: 145 dan surat Al-Nisa’/4: 78-79
A.
Teks
Ayat
1.
Surat Ali
Imran/3: 145
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا
بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي
الشَّاكِرِينَ
2.
Surat Al-Nisa’/4: 78-79
أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ
كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬ۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ يَقُولُواْ
هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ
مِنۡ عِندِكَۚ قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ
ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا) ۷۸(
مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا) ۷۹ (
B.
Tarjamah al-Ayat
1.
Surat Ali Imran/3: 145
Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang
tertentu waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran/3:145)[1]
2.
Surat Al-Nisa’/4:
78-79
Di mana
saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam
benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa
sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya
(datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS. Al-Nisa’/4: 78)
Apa saja nikmat yang kamu
peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. Al-Nisa’/4: 79)[2]
C. Makna
Ijmali
Rukun iman
yang keenam, atau tingkatan kepercayaan yang paling akhir ialah qadha dan
qadar. Ringkasan kepercayaan ini ialah bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam alam ini atau terjadi pada diri kita manusia sendiri, buruk dan
baik, naik dan jatuh, senang dan sakit, dan segala gerak-gerik hidup kita,
semuanya tidaklah lepas pada “taqdir” atau ketentuan Illahi. Tidak lepas dari
pada qadar artinya jangka yang telah tertentu, dan qadha artinya ketentuan. Qadha
dan qadar selalu berhubungan erat, qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana
Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan
qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah SWT. Jadi hubungan antara qadha dan qadar
ibarat rencana dan perbuatan.
D.
Pengertian
Istilah
Qadha menurut bahasa yaitu hukum,
ketetapan, perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan menurut
istilah, qadha ialah ketetapan Allah SWT sejak zaman Azali sesuai dengan
iradah-Nya, tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk ciptaan-Nya.
Qadar menurut bahasa yaitu kepastian, peraturan, dan ukuran. Sedangkan menurut
istilah, qadar adalah perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah SWT terhadap
semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah
yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena
salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang
lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh
merobohkan bangunan tersebut
Qadha dan qadar selalu berhubungan erat.
Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari
ketentuan atau hukum Allah SWT.
Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah SWT berupa
qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah SWT berfirman : ”Dan
tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya, dan kami
tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
Orang kadang
menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu qadar atau takdir. Jika ada orang
terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, “sudah takdir”, maksudnya
qadha dan qadar.
Kita harus yakin dengan sepenuh hati
bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada diri kita, baik yang baik maupun yang
buruk adalah kehendak Allah SWT. Sebagai seorang yang beriman, kita mesti
ikhlas menerima segala ketentuan Allah SWT atas apa yang ditentukannya kepada
diri kita.
Di dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
”Barangsiapa
yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku, dan tidak sabar terhadap bencana-Ku
yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah SWT merupakan iradah atau kehendak Allah SWT. Oleh sebab itu takdir tidak
selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai
dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan
nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Ketika takdir yang kita
alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima
dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada
hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah SWT maha mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
Ø Macam-macam takdir
a. Takdir
Mua’llaq
Takdir mua’llaq yaitu takdir yang erat kaitannya dengan
ikhtiar manusia. Sebagai contoh yaitu orang yang memiliki cita-cita. Dan untuk
mencapai cita-citanya tersebut dia terus menerus berusaha agar cita-citanya
tersebut tercapai, dan kemudian apa yang dia cita-citakan tercapai. Dalam hal
ini Allah SWT berfirman : “……Sesungguhnya
Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
mereka sendiri……”(Q.S. Ar-Rad : 11)
b. Takdir
Mubram
Takdir mubram takdir yang terjadi pada diri manusia
dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia.
Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan
kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
E.
Asbab al-Nuzul
·
Surat Ali Imran/3: 145
1. Asbabun
nuzul ayat ini berhubungan dengan asbabun nuzul ayat sebelumnya yaitu “Dan
Muhammad hanyalah seorang rasul;...” Ibnu Munzir meriwayatkan dari Umar, dia berkata “ ketika
peperangan Uhud, kami berpisah dengan Rasulullah. Lalu saya mendaki Gunung
Uhud, disana saya mendengar orang-orang berkata. ‘Muhammad telah terbunuh’.
Maka saya membatin, “ tak seorangpun mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh
kecuali akan saya bunuh ”
Ketika saya perhatikan ke bagian bawah
Gnung Uhud, saya melihat Rasulullah dengan orang-orang sedang kembali. Lalu
turun firman Allah, ‘Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...”.
2. Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari ar-rabi’, dia berkata “ketika kekalahan menimpa
orang-orang muslim dan mereka berteriak-teriak memanggil Rasulullah,
orang-orang berkata, ‘Rasulullah telah terbunuh.’ Maka sekelompok orang
berkata, ‘seandainya dia seorang nabi, tentu tidak akan terbunuh.’ Dan
sekelompok orang lainnya berkata, ‘berperanglah demi sesuatu untuknya Nabi
kalian berperang, hingga Allah memenangkan kalian atau kalian menyusul beliau.’
Lalu Allah menurunkan firmannya ‘Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...”.
·
Surat
Al-Nisa’/4: 78-79
Seperti halnya asbabun nuzul ayat diatas,
sebab-sebab turunnya ayat ini masih berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu
mengenai keengganan beberapa sahabat untuk berperang. An-Nasa’i dan Al-Hakim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin Auf dan beberapa rekannya
mendatangi Nabi saw, lalu mereka berkata “ Wahai nabi allah ketika kami masih
musyrik, kami adalah orang-oarang yangn mulia. Namun ketika kami beriman, kami
menjadi orang-orang yang hina.” Rasul pun bersabda “sesungguhnya akau
diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik
itu.” Ketika Beliau hijrah ke Madinah, Beliau diperintahkan untuk memerangi
musuh, Namun orang-orang tadi (Abdurrahman bin Auf dkk.) enggan melakukannya.
Maka turunlah firman Allah “Tidakkan engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan
kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang),...” hingga akhir ayat.
F. Tafsir al-Ayat
1. Surat
Ali Imran/3: 145
Al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan
ayat sebelumya dengan berkata bahwa kematian pimpinan pendukung-pendukung suatu
agama tidak wajar dijadikan sebab untuk mengelak dari pertempuran dan
meninggalkan medannya, kecuali jika kematian itu terjadi tanpa izin Tuhan,
pemilik agama itu.[3]
Di sisi lain , meninggalkan medan perang tidak akan ada manfaatnya kecuali jika
itu menjadi sebab keselamatan. Kalau tidak demikian, dalam arti kalau
kematiannya tidak dapat terjadi kecuali atas izin-Nya, dan lari dari medan
perang tidak menjadi sebab panjang atau pendeknya usia, maka apa yang dilakukan
oleh sebagian peserta perang Uhud adalah sesuatu yang sangat tidak pada
tempatnya. Inilah pesan yang dikandung dalam ayat ini, yakni sesuatu yang
bernyawa makhluk apa pun ia, dan setinggi apa pun kedudukannya dan
kemampuannya tidak akan mati dengan satu dan lain sebab melainkan
dengan izin Allah, yang memerintahkan kepada malaikat maut untuk mencabut
nyawanya, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya sehingga
tidak akan bertambah usia itu dengan lari dari peperangan tidak juga berkurang
bila bertahan dan melanjutkan perjuangan.
Firman-Nya: ( وَمَا كَانَ ) dari segi bahasa pada mulanya berarti tidak
wajar. Ketika kata itu dikaitkan dengan kematian satu jiwa ( لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ ), maka terjemahannya secara harfiah adalah “Tidak
wajar satu jiwa mati ..” redaksi ini menimbulkan pertanyaan, karena jika anda
berkata: “Tidak wajar yang ini”, maka akan timbul pertanyaan, “Apa yang wajar?”
dan ketika itu terkesan adanya pilihan. Nah, sekali lagi timbul pertanyaan:
“Apakah ada yang wajar atau tidak wajar untuk menentukan datangnya kematian?
Adakah pilihan bagi seseorang menyangkut kematian?” Tentu saja jawabannya:
“Tidak ada!” Jika demikian, mengapa ayat ini berbunyi seperti itu? Syekh
Mutawalli asy-Sya’rawi memberi jawaban sebagai berikut: “Seandainya ada
seseorang yang akan membunuh dirinya , maka dia tidak akan mati (walau usahanya
telah maksimal) kecuali sudah izin Allah kepada malaikat maut untuk mencabut
nyawanya. Kalau yangn mau membunuh diri saja tidak dapat mati kecuali
seizin-Nya, maka lebih-lebih mereka yang memelihara dirinya. Hal tersebut demikian,
karena ajal telah ditentukan Allah, dan dengan demikian, tidak wajar seseorang
menghindar dari peperangan karena takut mati.”[4]
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا
Allah menyatakan: "semua yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin-Nya, tepat pada waktunya sesuai dengan yang telah ditetapkan-Nya”. Artinya persoalan mati itu hanya di tangan
Tuhan, bukan di tangan siapa-siapa atau di tangan musuh yang ditakuti. Dalam
hal ini keimanan terhadap qadha’ dan qadar sangatlah diperlukan, karena jika
kita meyakini tentang qadha’ dan qadar tentu kita akan berserah diri kepada
Allah tentang urusan yang sudah pasti urusan Allah yaitu salah satunya adalah
tentang ajal. Ayat Ini merupakan teguran
kepada orang-orang mukmin yang lari dari medan perang Uhud karena takut mati,
dan juga merupakan petunjuk bagi setiap umat Islam yang sedang berjuang di
jalan Allah seterusnya Allah memberikan bimbingan kepada umat Islam bagaimana
seharusnya berjuang di jalan Allah dengan firman-Nya:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya:
Barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu,
dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)kepadanya
pahala akhirat.(Q.S Ali
Imran: 145)
Ini berarti setiap orang Islam harus meluruskan dan membetulkan
niatnya dalam melaksanakan setiap perjuangan. Kalau niatnya hanya sekadar untuk
memperoleh balasan dunia, biar bagaimanapun besar perjuangannya maka balasannya
hanya sekadar yang bersifat dunia saja. Dan barang siapa yang niatnya untuk
mendapat pahala akhirat, maka Allah akan memberikannya dan juga memberikan
bagian dari dunia kepadanya. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman: “Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam; ia
memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki
kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia
adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan
baik.”(QS. al-Israa’: 18-19)
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ “Dan Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.” Maksudnya, Allah akan memberikan karunia dan rahmat, di
dunia dan akhirat sesuai dengan rasa syukur dan amal mereka.
2.
Surat Al-Nisa’/4: 78-79
أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬
“dimana
saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu di dalam benteng
yang tinggi lagi kokoh”. Yaitu kalian pasti akan menuju
kematian, tidak akan ada seorang pun yang akan selamat darinya. Sebagaimana
Allah berfirman “semua yang ada di bumi itu akan binasa” (QS. ar-Rahmaan:26).
Maksudnya, bahwa setiap orang pasti menuju kematian, suatu hal yang pasti dan
tidak ada sesuatu pun yang menyelamatkan dirinya, baik ia berjihad ataupun
tidak. Karena ia memiliki batas yang telah ditetapkan dan tempat yang telah
dibagi-bagi.[5]
Firman-Nya وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬ “sekalipun kamu
berada di dalam benteng musyayyadah”. Yaitu benteng yang kuat, kokoh,
tinggi menjulang. Maksudnya, lari dan berlindung dari kematian tidaklah
bermanfaat. Karena apapun yang terjadi yang pasti adalah satu bahwa kematian
itu pasti datang kepada setiap yang bernyawa. Ketetapan Allah pasti akan
terjadi Apa pun yang Dia
kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula
sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun
manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan
Dia tidak mampu melainkan
karena Dia tidak menghendakinya.
Firman-Nya وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ “jika mereka
mereka memperoleh kebaikan”. Yaitu kesuburan rizki buah-buahan,
tanam-tanaman, anak-anak dan yang sejenisnya.
يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ “mereka mengatakan: ini adalah dari sisi
Allah dan kalau mereka ditimpa bencana”. Yaitu kekeringan dan kekurangan
buah-buahan, tanam-tanaman, kematian anak-anak, gagalnya panen, dan
lain-lain. يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَ “mereka mengatakan; ini dari sismu ya Muhammad”.
Karena mereka telah mengikuti nabi Muhammad
dan juga agamanya, sehingga mereka beranggapan itu ulaha nabi Muhammad.[6]
Demikianlah perkataan orang-orang munafik
yang masuk kedalam islam secara zhahir, padahal mereka benci padanya (islam).
Untuk itu jika mereka ditimpa suatu keburukan , mereka menisbatkan
(menyandarkan) hal itu dengan sebab mereka mengikuti Nabi saw. Maka Allah
menurunkan قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ “katakanlah: semua
datang dari sisi Allah”.
Firman-Nya قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ “katakanlah: semua
datang dari sisi Allah”. Yaitu seluruhnya dengan qadha’ (putusan) dan Qadar
(ketentuan) Allah. Allah-lah yang menentukan sesorang itu baik atau jahat,
mukmin atau kafir.
Kemudian Allah berfirman mengingkari
orang-orang yang mengucapkan kata-kata yang muncul dari keraguan dan
kebimbangan, kurang paham dan kurang berilmu serta bertumpuknya kejahilan dan
kezaliman, فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا “maka mengapa
orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun”.
Kemudian
Allah berfirman kepada rasulnya , walaupun tujuannya adalah untuk seluruh
manusia sebagai jawaban, مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِ “apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah dari Allah” yaitu dari karunia,
kenikmatan, kelembutan dan kasih sayangnya.
وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَۚ
“dan apa-apa bencana yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri”.
Yaitu dari sisimu dan dari perbuatanmu. Sebagaimana firman Allah “dan apa
saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.
Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).(QS.
Asy-syura:30)
As-suddi, al-Hasan al Bashri, Ibnu
Juraij dan Ibnu Zaid berkata فَمِن نَّفۡسِكَۚ “dari dirimu sendiri”.
Yaitu dengan sebab dosamu. Qatadah berkata tentang ayat ini فَمِن نَّفۡسِكَۚ “dari dirimu sendiri” sebagai
sangsi bagimu, hai anak adam, disebabkan dosa-dosamu.[7]
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Mutharrif bin ‘abdillah, ia berkata: “apa yang kalian
maksudkan dengan qadar. Apakah tidak cukup bagi kalian ayat yang terdapat dalam
surat an-Nisa’: “Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini
adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)"(QS.
Al-Nisa’/4: 78). Yaitu dari dirimu sendiri . demi Allah,
mereka tidak diserahkan sepenuhnya kepada takdir. Mereka telah diperintah dan
sesuai takdirlah akhirnya urusan mereka.”[8]
Firman
Allah وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬
“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Yaitu engkau sampaikan
kepada mereka syari’at-syari’at Allah, apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan tidak disenangi-Nya.
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا
“Dan cukuplah Allah sebagai saksi”. Yaitu, bahwa Allah telah mengutusmu, dan Allah pula yang menjadi saksi
antara kamu dan mereka. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang telah engkau
sampaikan kepada mereka, serta tentang penolakan mereka terhadap kebenaran yang
berasal darimu, karena kufur dan pembangkangan.
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil paparan makalah diatas
mengenai kajian ayat-ayat tentang qadha’ dan qadar maka dapat disimpulkan
menjadi beberapa poin sebagai berikut:
1.
Qadha’ dan qadar
selalu berhubungan erat.
2. Qadha’
adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari
ketentuan atau hukum Allah SWT.
Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
3. Ketetapan
Allah pasti akan terjadi apa
pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya.
Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan
terjadi meskipun manusia
memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan
Dia tidak mampu melainkan
karena Dia tidak menghendakinya.
4. Kematian
adalah salah satu dari ketentuan Allah yang telah ditetapkan-Nya, dan pasti
tidak akan dapat terelakkan jika Allah telah menentukan waktu, keadaaan, sebab
dan juga tempat terjadinya kematian itu.
5. Apa
saja yang diperoleh yang berupa kebaikan (baik berupa karunia, kenikmatan,
kelembutan, kasih sayang dan lain-lain) merupakan berasal dari Allah. Sedangkan
apa saja bencana yang menimpa manusia, itu merupakan akibat dari dosa-dosanya.
6.
Iman terhadap
qadha dan qadar sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai masalah yang pasti
akan kita temui contohnya dalam dunia pendidikan, dengan beriman kepada qadha
dan qadar kita meyakini bahwa apa pun yang menimpa diri kita telah di atur oleh
Allah dan tugas kita hanyalah berusaha.
7. dalam
proses belajar mengajar (dunia pendidikan) kita harus meyakini bahwa Allah SWT
telah meggariskan kepada kita sesuatu yang baik dan kita tidak boleh berputus
asa dari rahmatnya karena tugas kita hanyalah belajar , dan keputusan mengenai
hasil dari usaha kita tersebut hanya Allah lah yang maha mengetahui.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheikh. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid
2. Kairo: Mu-assasah Daar al Hilaal, 1994
Departeman
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009
M. Quraish Shihab. Tafsir
Al-Misbah. Volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002
[1] Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 68
[2]
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
h. 90
[3]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
volume 2, h. 235
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 235-236
[5]
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir,
(kairo: Mu-Assasah Daar Al Hilaal, 1994), jilid 2, h. 359.
[6]
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir,
h. 358.
[7]Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h.
359
[8]Abdullah
bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h.
359
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMohon izin save , semoga berkah
ReplyDeletetafazzal .., smoga bermanfaat . dan juga mohon dikoreksi apabila terdapat kesalahan ..!!
Delete